18 Desember, 2007

SASTERA & SENI LUKIS





Medy P Sargo:
DUKA DAKU
Duka menggelepar di hati ini
tak ada kubur baginya
laksana akar semakin pagut
hujan pun tak daya melumerkan
Yang kunanti kini adalah waktu
dalam gusar yang berjengkal-jengkal
Duka seakan bagian dari sukmaku
jika tiada, maka tiada pula daku
(Jkt, 1983)


Medy P Sargo :
SESEORANG YANG LEWAT

Seseorang lewat dan menyapaku “ Hai...!”
( Subang,1981)

Medy P Sargo :
SEPATUKU SARANG TIKUS

Sepatuku
hitam warnanya
tikus di dalamnya....
(Subang, 1981)


Medy P Sargo :
BAJUKU...

Bajuku yang tergantung
merah warnanya
robek sakunya
murah harganya
emakku yang membelinya...
(1981)

Ogon Koesnadi & Medy P Sargo :
GELAP PUN DATANG

Gelap itu datang
dan tak dapat kusambut sebagai kehadiran
Waktupun habis
aku tak punya indera lagi di sini
untuk menilai gelapnya menurutmu

Anakku,
takkan kupahami apakah gelap itu
takkan kucerna apakah terang itu
Inilah yang kau sebut kematian
Mati adalah mati
mati di laut dimakan ikan
mati dikubur menjadi tanah
mati dibakar menjadi abu

Kematian membebaskanku dari derita dunia
Kematian pula yang titip pesan untukmu
“Satu saat kau susul aku”
Di alam sana aku masih ada
(Subang, 18 Juli 1987)


Medy P Sargo :
KARENA.....

Karena tak ada kau
aku kesepian

Karena ada kau
aku kecapaian

Karena ada kau dan aku
lahir perbedaan

Karena ada kau, aku dan perbedaan
pecahlah peperangan

Karena tak ada kau, aku dan perbedaan
maka hanya ada ENGKAU.
(Jkt, Nov 2000)

Medy P Sargo :
SURAT UNTUK KEKASIH KHAYAL

Jeng.....,
Waktu kemarin engkau senyum dari balik punggung suamimu
aku menyeringai, betapa beraninya engkau.
Pagi ini aku dengar kabar bahwa engkau di rumah sakit karena dianiaya suami.
Apakah itu karena soal kemarin?

Jeng.....,
sore ini nampaknya aku harus ke rumah sakit
Tapi maaf, bukan untuk membezoekmu.
Aku harus menjahit kepala, Isteriku tadi siang melempar aku dengan botol.
Seorang rekan sekerja telah mengabari isteri bahwa aku selingkuh.
(Jkt, 16 Mei 2007).

Medy P Sargo :
KESANGSIAN

Tuhan,
maukah Engkau beri aku kekuatan
lantaran berhari-hari akan kugeluti
masa pencarian dengan kesangsian
Kuraih sisa-sisa keberuntungan di jalanan
Kukemas agar nampak sebagai kemurahan-MU

Tuhan,
Kemarin sore pemimpinku di bumi yang berminyak
telah menunjukkan kekuasaan di antara orang-orang papa
Ia jauhkan aku dari minyak yang biasa menghangatkanku
Ia bilang padaku bahwa aku tak akan dapatkan minyak semudah hari kemarin
Aku sangsi Tuhan, apakah kalimat itu seijin-MU?

Kemarin sore pemimpinku di bumi yang berminyak
Telah menunjukkan kemurahan menurut ukurannya
Ia beri aku rupiah yang katanya untuk kesejahteraan
Ia bilang padaku bahwa aku tak perlu kerja tapi dapatkan uangnya
Aku sangsi Tuhan, apakah pemberian itu Engkau berkahi?

Aku cuma tak meyakini
tentang langkahku di atas bumi berminyak
yang tak mudah kujamah
tentang jeritan dan tangis rakyat, yang tak mudah reda
Dan aku cuma yang tak beruntung
Seakan aku jadi tak nampak di sisi-MU

Aku tidak meratap, sekalipun langkahku merayap
Kuraih sisa-sisa keberuntungan di jalanan
Kukemas agar nampak sebagai kemurahan-MU
Karena itu lebih indah dari pada perampasan
Aku bertanya Tuhan, berapa kata yang dimengerti pemimpinku?
(Tng, 19 Desember 2005)


Medy P Sargo :
KEPADA SETANGKAI BUNGA

Bunga,
Engkau kini layu tak bercahya
Wangimu tak semerbak lagi
Kemarin kau tak mau kuraih
Kini seakan penuh isyarat tuk kupetik

Bunga,
Akupun kini t'lah layu
Tanganku keriput dan gemetar
Hatiku mudah berdebar
Mulutku mudah sesumbar
Tekadku gampang pudar.
(Jkt, 18 Nov 1986)


Pesan untuk anda: Jika mencintai seseorang, katakan secepatnya, jangan menunggu hari tua.


ANTARA MINAH DAN AIR MATA

Kata orang, negeriku kaya raya
Sebongkah harapan masa depan menjadi janji tak terukur
Ketika orang di seberang lautan bilang "negerimu kaya"
aku malah tak melihat apa-apa
Ketika orang di seberang lautan bilang " kamu bangsa beruntung"
Aku malah tak punya kata buat mengucap syukur
Bukan karena aku buta, bukan karena aku bisu
Hari ini air mata telah menutupi mataku, dan membasahi mulutku

Minah oh Minah
Betapapun engkau bukan seorang gadis
Betapapun engkau tak mampu memupus dahaga
Namun engkau mampu gairahkan hidupku
dan kujalani hari-hari panjang dalam keresahan
Ketika engkau masih mengisi jerigen tuaku
aku biasa gunakan engkau buat menyiram sumbu kompor
untuk memasak air kali dan menanak nasi dari beras
yang cuma mampu kupungut di pasar kaget

Minah oh Minah
Ketika engkau masih mampu kubeli
aku biasa gunakan engkau buat menyirami sumbu lampu tempel
yang mampu menerangi gubukku hingga pukul setengah sembilan malam,
dan aku bisa tersenyum, karena isteri dan anak-anakku tidur pulas
seusai makan sore nasi kemarin pakai garam dan kerupuk putih
O.... indahnya, akankah masih kumiliki esok pagi yang indah?

Tiba-tiba aku jadi seorang perindu
Karena aku tak bisa melihatmu lagi dengan warna pelangimu
Padahal sedetik yang lalu aku masih menatapmu,
sebelum kudengar kabar buruk yang membakar telingaku
Harga Minah kini naik !!
Minah tak akan bisa kau jamah lagi !!
Minah alias minyak tanah
kini tak akan lagi mengisi jerigen tuamu !!
Minah alias minyak tanah
kini tak akan mudah kau jumpai di sepanjang jalan yang kau telusuri

Minah oh Minah
Ketiadaanmu adalah keberadaan air mata yang melimpah
Ketika kini engkau tak lagi menyulut sumbu komporku
Ketika kini engkau tak lagi menyulut sumbu lampu tempelku
Hatiku pilu, darahku mendidih, napasku sesak
Istreri dan anak-anakku tak bisa lagi tidur pulas
Gubukku kini terendam air mata dan kesangsian

Minah oh Minah
Kucoba membakar air mata yang melimpah di gubukku
Satu persatu kusulut batang korek api hingga penghabisan
hingga aku tak mampu lagi memahami perbedaan
antara Minah yang tak kumiliki dan air mata yang tak kuingini
Nyatanya, keduanya tak bisa menyulut api
Antara Minah dan Air Mata ada lapar dan kegelapan.

(Medy Sargo, Tng, 18 Desember 2005)



Medy P Sargo :
BANGSA KEOK

Aku berdiri di pelataran rumahku yang luas
Aku awasi semua orang yang lewat,
sambil kunyanyikan lagu kebangsaan

Aku hardik orang berkulit coklat yang lancang
Tapi aku diam menunduk dan pura-pura tidak tahu,
ketika seorang berkulit bule berak di pelataran rumahku.
(Jkt, 25 April 2007 - )



KEBUNTUAN
karya: Medy P Sargo

Sekali waktu aku bilang "jangan" pada Sang Presiden
Namun tak satu huruf pun dimengerti Sang Presiden
Lalu Sang Presiden bilang "jangan" padaku
dan tak satu isyarat pun yang kumengerti.

(Jkt, 30 Jan 2007)




ELOK
(Medy P. Sargo)

Elok…,
sesampainya tatapku di wajahmu, kau deburkan ombak asmara
Teduh wajahmu bagai mata air di padang pasir
Indah rambutmu bagai pelangi di pagi hari
Putih kulitmu bagai silau berlian di malam hari

Elok....,
jika kau tak nyaman menuai hasratku
Kan kupastikan deburan ombak di hatiku
tak sampai menerjang langit asmara
Meski aku sangsi……

Berdayakah aku saat kau melirik
Berdayakah aku saat kau tersenyum
Berdayakah aku saat kau menggeliat
Berdayakah aku menampik hasratku

Elok….,
tak kan kupungkiri ketika sehelai rambutmu jatuh di hadapanku
ku tak kan mampu menahan gelora hati
Tak kan kupungkiri ketika kau jatuh dalam pelukanku
ku tak kan mampu mengusikmu untuk pergi meninggalkanku

Elok.....,
Jika sehelai rambutmu diterpa angin dan menyentuh tatapku
Maka hatiku kan tersungkur dan meratap
hingga kau menitipkan hatimu padaku.




KAMERA TUA

(Medy P Sargo)

Di kamar bapakku sore itu, setiba aku dari Jakarta,
kupandangi kamera tua milik bapakku “Made in Germany”
Dahulu sering digenggamnya penuh kebanggaan
Aku begitu berat mengenangnya
Kamera itu yang digunakan bapakku untuk meraih masa depanku

Senyummu begitu hangat setiap menyambut
kepulanganku dari sekolah kala itu
Kini senyum itu hanya ada dalam benakku
Candamu nian sulit hapus dari ingatanku
Ingin aku mengadukan sesuatu,
namun bapak begitu diam dalam kesunyian ini
Aku rindu komentar bapak tentang sesuatu
yang menjadi kesukaanku.

(Subang,Sabtu, 5 Sept 1987)






Bocah Laknat

Aku, yang tak minta pertolongan pada Tuhan
Karena tak mampu menjawab pertanyaan Tuhan tentang dosa
Tak kan kubilang Bapakku sudah mati hanya karena tak punya cangkul
Tak kan kubilang Ibuku sudah renta hanya karena jarang menanak nasi
Tak kan kubilang guruku sudah pikun hanya karena aku tak bersekolah
Tak kan kubilang tetanggaku bisu hanya karena tak pernah menyapaku 

Aku, yang tak minta lebih lama tinggal di Negeriku
Karena tak mampu membayar nasi bungkus dan pajaknya
Tak kan kubayar dengan belati hanya karena tak mau kelaparan
Tak kan kubayar dengan mengumbar ayat-ayat suci hanya karena malas
Aku ini hanya seorang bocah yang tak pernah bersepakat lahir ke dunia
Dan tak minta lahir di tanah Negeri kaya raya ini !! 

Aku juga tak minta Penggede menyapaku dengan bahasa langit
Aku hanya ingin tinggal di pulau kecil yang tandus di tengah samudera
Jauh dari kerimbunan pohon dan atap berlapis genteng
Jauh dari iklan makanan dan pemandangan lalu lalang anak bubaran sekolah
Di sini, di pulau tandus tengah samudera, terik matahari takkan kusesali
Inilah teriak lantangku untuk Sang Penggede : “ Aku, bocah laknat ! Lebih terhormat tak bersekolah dan mati kelaparan di pulau tandus terpencil, dari pada membusuk di negeri yang katanya kaya raya" 

(©Medy P Sargo: Jakarta, 7 Mei 2013)



Tidak ada komentar: