28 Desember, 2007

PENDIDIKAN & KEBUDAYAAN

PENDAPAT KUNO PARA PAKAR PENDIDIKAN

Saya yakin banyak di antara kita yang pernah mendengar pendapat klasik alias kuno dari para praktisi guru atau pakar pendidikan bahwa pendidikan itu bukan hanya tugas guru. Saya setuju dengan pendapat itu. Tetapi pendapat itu seringkali dikembangkan menjadi argumen untuk membela diri ketika kegagalan pendidikan digugat oleh masyarakat. Para praktisi guru sering berdalih bahwa mana mungkin dengan waktu yang sekian jam pertemuan di kelas guru mampu mengawasi murid. Justru katanya yang lebih bertanggungjawab pada pendidikan anak-anak adalah orang tua. Orang tua harus mampu mengawasi anak-anaknya, karena waktunya lebih banyak.

Sepintas pendapat itu mengandung kebenaran. Jika dikaitkan dengan persoalan waktu yang terbatas, maka orang tua praktis (seharusnya) lebih banyak memiliki waktu untuk mengawasi anak-anaknya dari pada seorang guru. Benarkah demikian? Faktanya tidak jarang dijumpai suatu keluarga yang memiliki kualitas komunikasi yang buruk antar anggota keluarga, khususnya orang tua dengan anak-anaknya. Mungkin secara kumulatif frekuensi pertemuan antara anak dan orangtua cukup banyak. Akan tetapi belum tentu efektif, mengingat tidak cukup banyak hal yang diperbincangkan menyentuh pada persoalan penting dalam proses aktualisasi pendidikan. Paling banyak lebih pada persoalan hambatan yang dihadapi anak baik di lingkungan rumah maupun di luar rumah.

Mari kita telaah. Jika dilihat dari sisi tanggungjawab pendidikan, mana yang lebih berkompeten, guru atau orang tua? Diantara kita ada yang cenderung menjawab keduanya (guru dan orang tua). Tapi jika kita bicara soal sistem pendidikan, maka sesungguhnya kita tidak bisa menyerahkan tanggungjawab pendidikan kepada orang tua. Anda tahu tidak semua orang tua memiliki pendidikan yang cukup. Jangankan untuk mendidik anak-anaknya, untuk menempatkan dirinya sebagai anggota masyarakat yang berpendidikan pun seringkali menghadapi kesulitan. Kesulitan itu sendiri bisa jadi dipengaruhi oleh faktor kondisi intelektual yang memang sepanjang hidupnya tidak pernah menerima cukup pendidikan. Tetapi juga bisa dipengaruhi oleh faktor lain yang lebih kompleks. Misalnya karena mereka tidak memiliki tanggungjawab moral pada pendidikan anak. Dan bisa jadi mereka tidak menyadari bahwa anak-anak mereka akan menjadi bagian dari lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sungguh pun para orang tua tersebut memiliki bekal pendididkan yang cukup. Tapi mereka telah begitu mempercayai lembaga pendidikan sebagai lembaga yang dapat mewakili orang tua untuk mendidik anak-anaknya.

Catatan di atas penting digunakan sebagai ukuran masyarakat Indonesia dewasa ini. Lalu apakah kita bisa mempercayakan peran pendidikan pada orang tua. Sebab hanya berapa persen sebenarnya orang tua yang bisa dipercaya mampu mendidik serta mengawasi anak-anaknya secara baik. Padahal kita sadari anak-anak adalah gerenasi penerus pembangunan bangsa.

Bicara mengenai sistem pendidikan, maka pendidikan anak-anak adalah tanggungjawab negara, dan negara dalam hal ini mendelegasikan kepada guru (lembaga pendidikan). Karena itu, usaha untuk memajukan pendidikan tidak cukup hanya menaikkan gaji guru, tetapi harus mengupayakan pemerataan kesempatan pendidikan sampai ke pelosok-pelosok.

Hal lain yang amat penting adalah mengubah pandangan masyarakat tentang kebebasan pergaulan anak-anak dan remaja. Pembatasan terhadap kebebasan anak-anak dan remaja dalam berbagai bentuk pergaulan harus disadari oleh masyarakat sebagai upaya positif untuk membangun fondasi karakter bangsa. Saya kira negara harus berperan lebih dominan dalam menentukan arah pendidikan. Pendidikan untuk generasi penerus bangsa bukan urusan yang bisa diserahkan kepada bangsa lain atau kepada masing-masing warga negara.



BERSAMBUNG ........

Ke depan akan mengupas masalah kualitas guru, kualitas pendidikan dsb.



SELAMAT DATANG UU BHP!

Selamat datang undang-undang Badan Hukum Pendidikan. Kedatangan yang cukup berani mengingat tidak dikehendaki kehadirannya di bumi pertiwi ini. Namun demikian kami rakyat Indonesia siap dipisahkan dari budaya dan kepribadian bangsa. Sebab kami tak akan mampu lagi membiayai internasionalisasi lembaga pendidikan, yang pada akhirnya akan membatasi kurikulum berkepribadian Indonesia. Investor asing di bidang pendidikan tidak akan senang jika lembaga pendidikan yang dimodalinya menerapkan kurikulum yang mampu menyehatkan sikap nasionalisme. Anak cucu kita tidak akan menjumpai lagi pelajaran budi pekerti ala Pancasila. Sejarah kebangsaan pun mungkin bisa disingkirkan. Slogan yang paling menonjol kelak adalah "Indonesia harus bisa mengubah menjadi bagian dari masyarakat dunia secara total, sehingga dunia akan dengan mudah mampu menguasai Indonesia!". Sungguh ini akan menjadi tragedi nasional yang paling menghancurkan masa depan bangsa.

Tidak ada komentar: