24 April, 2009

MEMAKNAI KEBANGKITAN NASIONAL

Pada Hari Kebangkitan Nasional yang ke-100 diperingati tanggal 20 Mei 2008 di Gelora Bung Karno, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu memberikan jargon baru “Indonesia Bisa”. Jargon tersebut diharapkan mampu membangun semangat nasionalisme kepada seluruh elemen bangsa. Mungkin kebanyakan dari kita sesungguhnya berharap peringatan Hari Kebangkitan Nasional kala itu bukan sekedar upaya bernostalgia tentang kejayaan bangsa kita di era pra kemerdekaan yang mampu bertahan hingga tahun 80-an. Peringatan hendaknya dapat memaknai jauh lebih dalam dari sekedar formalitas seremonial.

Kalau boleh menyuarakan isi hati bangsa ini, maka bangsa ini hanya memiliki keinginan sederhana, yakni merdeka sebagai bagian dari masyarakat internasional. Dengan kemerdekaan itu bangsa ini berharap mampu mengawal kedaulatan bangsa di berbagai bidang kehidupan, terutama ekonomi, politik, hukum dan kebudayaan.

Almarhum Sophan Sophiaan, aktor senior dan politisi terkemuka negeri ini pernah mengungkapkan kegelisahannya bahwa betapa nilai kebangsaan pada beberapa kalangan, terutama kalangan generasi muda semakin merosot. Almarhum walaupun mengungkapkan dengan contoh lain, namun kira-kira hendak mengatakan bahwa generasi muda dewasa ini memang di satu sisi mampu mengekspresikan gagasan-gagasan baru, namun ketika dihadapkan pada persoalan kebangsaaan banyak yang menghadapi kebuntuan.

Sebagai contoh, tumbuhnya kecenderungan bergaya hidup konsumerisme yang berorientasi pada produk-produk import, adalah bukti kurangnya dorongan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional. Meski tak satu orang pun yang mau menerima tudingan bahwa hal itu berkaitan dengan merosotnya semangat nasionalisme. Soal ini kita perlu belajar pada India dan Korea.

Klaim atas Negeri
Negeri ini sudah pasti bukan monopoli milik orang Jawa atau orang Minang hanya karena proklamator kemerdekaan negeri ini adalah orang Jawa (Bung Karno) dan orang Minang (Bung Hatta). Pada saat negeri ini diproklamasikan sebagai negara merdeka, maka pada saat itu juga seluruh anak bangsa di setiap penjuru nusantara ini telah pasang badan untuk menghadapi segala konsekuensinya.

Negeri ini bukan juga monopoli milik orang Betawi hanya karena tersebut sebagai penduduk asli kota Jakarta. Juga bukan monopoli milik orang Sunda hanya karena dekat dengan Jakarta. Bukan pula monopoli milik orang Sulawesi Selatan, hanya karena dua putera daerahnya pernah menjabat Presiden dan Wakil Presiden. Sementara orang Papua dan Aceh juga tidak bisa melepas tanggungjawab pada negeri ini, hanya karena merasa sumberdaya alamnya telah terkuras oleh perusahaan asing. Indonesia adalah milik semua orang yang mencintai negeri ini dengan segala kekurangannya. Mencintai dalam arti yang sesungguhnya bagaimana ia berbuat positif untuk mempercantik emej bangsa ini di mata dunia.

Apakah Amrozi cs adalah berjuang karena mencintai negeri ini? Patut diragukan. Apakah seorang Tibo dan kawan-kawannya berjuang untuk keselamatan negeri ini? Juga patut diragukan. Lalu apakah sekelompok orang yang melakukan tindakan anarkis terhadap kelompok lainnya adalah yang berhak atas negeri ini? Agaknya kita sulit untuk merestui. Mereka sadar atau tanpa sadar hanya akan menjadi target penunggangan para provokator intelejen asing untuk mendiskreditkan bangsa ini, dengan tujuan akhir menciptakan instabilitasi ekonomi negeri ini.

Sungguhpun kita tidak dapat menyangkal bahwa salah satu penyebab munculnya tindak anarkis diantara kelompok masyarakat adalah dipengaruhi oleh situasi perekonomian yang tidak menentu. Namun sesungguhnya bangsa ini tidak akan pernah membenarkan konflik akbar horizontal. Sementara kekuatan asing tetap tekun menggerogoti negeri ini dengan mulusnya. Bahkan terkesan difasilitasi elite politik, dan nyaris luput dari perhatian kita sebagai bangsa berdaulat.

Sungguhpun kita dapat menyadari bahwa penyebab lain munculnya kekerasan adalah disebabkan lenyapnya keadilan di muka bumi ini yang ditelan habis oleh kekuasaan dan arogansi negara-negara adi kuasa. Namun sesungguhnya masyarakat dunia barat tidak akan pernah menerima pandangan tentang keadilan menurut versi negara berkembang yang kaya sumberdaya alamnya seperti Indonesia, kecuali kita rela melepaskan kekayaan itu dengan harga yang sangat murah.

Tanda Kebangkitan
Negeri ini membutuhkan pemahaman rakyat terhadap pentingnya membela serta melindungi kedaulatan atas wilayah, ekonomi, politik, hukum, kebudayaan dan sebagainya. Bahkan jika saja saat ini rakyat Indonesia telah mengerti dan memahami bahwa perdamaian dalam hubungan kekeluargaan antar golongan, suku dan agama adalah merupakan tanda kebangkitan nasionalisme, maka pantaslah bagi bangsa ini memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada setiap tanggal 20 Mei.

Pada era perjuangan fisik di tahun 1945, nasionalisme tidak perlu diragukan lagi, walaupun pada waktu itu tetap ada segelintir orang yang mampu berkhianat pada bangsa ini. Bisa jadi penghianatan yang timbul pada masa itu dilatarbelakangi oleh keterdesakan ekonomi atau mungkin keengganan kelompok itu digolongkan pada ras inlander (pribumi, dan selalu ditempatkan sebagai ras kelas tiga). Namun ironisnya, di saat penjajahan secara fisik oleh bangsa asing sudah tersingkirkan, justru gerakan-gerakan yang dapat dikategorikan sebagai penghianatan terhadap negeri ini malah semakin banyak serta terang-terangan.

Kita tentu sependapat memasukkan korupsi sebagai tindakan penghianatan terhadap negeri ini. Namun sesunggunya masih banyak hal yang perlu dimasukkan ke dalam kategori penghianatan, diantaranya pelanggaran hak asasi manusia, mafia peradilan, penjualan aset strategis negara kepada pihak asing, kebijakan-kebijakan nasional yang kurang berpihak kepada kepentingan rakyat termasuk di bidang pendidikan, perdagangan,dan pertambangan. Dengan kondisi seperti ini apakah mampu membangkitkan nasionalisme yang ideal? Masihkah bangsa ini memiliki energi untuk mengobarkan semangat kebangsaan di tengah-tengah ketidak harmonisan hubungan antara penguasa dan rakyat. Siapa yang memposisikan sebagai pembela negeri ini dari ekspansi kekuatan bisnis ritel asing misalnya? Lalu masih perlukah kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional, jika itu hanya sebuah formalitas seremonial belaka? Jika meminjam bahasa ABG, maka jawabannya adalah "Tidaklah yaw!!!"