Selama ini banyak gugatan ditujukan
kepada bangsa ini. Kita rajin mengumpat, mengata-ngatai bangsa ini sebagai
bangsa tempe yang semakin tertinggal oleh bangsa lain. Bahkan kita jarang
berterimakasih pada apa yang telah dipersembahkan oleh bangsa ini, yang tanpa
sadar telah memberi identitas istimewa kepada kita dengan sebutan Bangsa
Indonesia.
Sebelumnya kita selalu mengatakan
bangsa ini sebagai bangsa bermental koruptor. Tidak puas-puasnya kita mencaci
bangsa ini, menyudutkan bangsa ini sambil memuji-muji bangsa lain. Dikotorinya
pula bangsa ini dengan darah pemerkosaan terhadap hak asasi manusia. Bahkan
ditebasnya keramahan bangsa ini dengan pedang kecongkakan atas nama keimanan.
Kita begitu rajin melempari wajah bangsa ini dengan kotoran hingga menciprati
wajah kita sendiri.
Sejak kita tidak lagi mengagumi
wajah bangsa ini, sejak itulah muncul tuntutan akan perubahan. Namun sayangnya
anda hanya menuntut orang lain untuk berubah. Anda sendiri enggan melakukan
perubahan pada diri sendiri. Maka benturan antara realita dan harapan dalam
lubuk hati menjadi konflik yang hebat, manakala air
muka kini telah memancarkan sinar keserakahan, kehausan akan kekuasaan,
kesombongan akan kelebihan-kelebihan yang dimiliki, dan keburukan-keburukan
lainnya. Secara meyakinkan kesemuanya itu tidak mampu mewujudkan rasa
kebersamaan, rasa senasib dan sepenanggungan.
Seorang Mahatma Gandhi ketika menggagas
semangat swadesi pada masa perjuangan meraih kemerdekaan India dari kolonial
Inggris, oleh rakyat India disambutnya dengan penuh kekaguman dan rasa hormat,
manakala perjuangan kemerdekaan tidak
lagi hanya dapat mengandalkan pada perlawanan fisik belaka.
Pada awalnya, semangat swadesi (menyandarkan
kebutuhan pada kemampuan sendiri) ditunjukkan dengan keengganan Mahatma Gandhi
menggunakan pakaian lengkap yang nota bene pada waktu itu merupakan hasil
industri buatan bangsa asing (Inggris). Gandhi hanya mau mengenakan kain hasil
tenunan isterinya. Kekerasan hatinya terhadap prinsipnya ini menunjukkan
kegigihannya dalam diplomasi perjuangan menghadapi penjajah. Gandhi menjadi
seorang yang disegani oleh pemerintah kolonial Inggris, bahkan oleh lawan
politiknya di dalam negeri. Gandhi tidak cuma berpikir, tetapi ia juga
bertindak, hingga dicontoh rakyatnya.
Semangat Swadesi pada akhirnya telah
berhasil mengajarkan kepada rakyat India untuk lebih mencintai produk-produk
dalam negeri. Terkesan seperti anti menggunakan produk luar negeri. Oh tidak !
Itu sekedar ekspresi kebersamaan ketika
ancaman melanda bangsa India.
Sekarang giliran bangsa ini
menggugat kita.
Presiden Soekarno rupanya terilhami
oleh semangat swadesi hingga pada tahun 1959 menggagas apa yang disebut
Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri). Tujuannya tidak berbeda jauh dari
Swadesi, yaitu membentuk masyarakat yang lebih percaya pada kemampuan bangsa
sendiri. Termasuk pula upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh ide-ide yang
tersembunyi di dalam sistem hukum nasional pada waktu itu.
Dosa terbesar negeri ini adalah ada pada
kesombongan kita sendiri yang selalu membangga-banggakan kekayaan negeri ini
tetapi senang berdagang eceran produk-produk luar negeri sambil tidur tanpa
berbuat banyak untuk bisa mengelola sendiri Negeri ini.
Coba
saja renungkan kalimat-kalimat yang terlalu sering mendengung-dengung di
telinga kita. “Negeri kita ini amat kaya”; “Orang-orang Indonesia itu
sebenarnya tidak kalah pintar dibanding orang asing”; “Nenek moyang kita
itu sebenarnya hebat”; “ Negeri
kita itu luasnya hampir sama dengan daratan Eropa”; “ Pejuang-pejuang
kemerdekaan kita itu hebat, dengan bambu runcing saja mampu mengusir penjajah”;
“Indonesia ini negara terbesar di Asia Tenggara”; “Indonesia adalah negara berpenduduk
pemeluk agama Islam terbesar di dunia”; “Candi Borobudur adalah salah satu
keajaiban dunia”; “Bangsa Indonesia terkenal sejak dulu dengan
keramahannya”.
Kalimat-kalimat
yang berbau nostalgia dan propagandis tersebut seakan-akan diarahkan untuk dijadikan
bukti bahwa kita ini sudah cukup banyak berbuat sesuatu untuk negeri ini.
Inilah yang keliru !
Mari
kita renungkan hal-hal tersebut di bawah ini: 1) Apa yang sesungguhnya telah kita lakukan
sebagai pembuktian bahwa negeri ini amat kaya? Bahkan kita jarang melirik
produk dalam negeri; 2) Apa yang sesungguhnya telah kita buktikan bahwa orang-orang
Indonesia itu tidak kalah pintar dibanding orang asing? Bahkan kita jarang
menaruh kepercayaan pada tenaga ahli dalam negeri; 3) Apa yang sesungguhnya dapat kita
pelajari dari kejayaan nenek moyang kita ? Bahkan kita jarang mengagumi
kebudayaan lokal selain terbang ke mancanegara; 4) Apa yang sesungguhnya telah kita
lakukan untuk bisa menjaga wilayah negeri ini tetap luas dan bersatu? Bahkan
kita sering tidak sungguh-sungguh menyudahi penjualan pasir ke luar negeri; 5) Apa
yang sesungguhnya dapat kita maknai dari besarnya jumlah umat Islam di
Indonesia? Bahkan kita sering nampak sombong sebagai kekuatan yang kontra
produktif; 6) Apa yang dapat ditunjukkan sekarang ini sebagai kebenaran bahwa
bangsa Indonesia sejak dulu terkenal dengan keramahannya? Bahkan kita sering
menjadi bagian dari aksi anarkis terhadap sesama anak bangsa; 7) Apa yang sesungguhnya
bisa kita tunjukkan bahwa kita peduli pada kebangkitan ekonomi bangsa?. Bahklan
kita sering membelanjakan uang kita untuk produk-produk luar negeri yang tidak
begitu penting.
Tergantung
niat anda. Saya hanya seorang provokator yang tidak mau lagi nonton film import
di gedung bioskop sejak tahun 1998. (Medy P. Sargo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar