29 Maret, 2018

Cermin Kita



            Selama ini banyak gugatan ditujukan kepada bangsa ini. Kita rajin mengumpat, mengata-ngatai bangsa ini sebagai bangsa tempe yang semakin tertinggal oleh bangsa lain. Bahkan kita jarang berterimakasih pada apa yang telah dipersembahkan oleh bangsa ini, yang tanpa sadar telah memberi identitas istimewa kepada kita dengan sebutan Bangsa Indonesia.
            Sebelumnya kita selalu mengatakan bangsa ini sebagai bangsa bermental koruptor. Tidak puas-puasnya kita mencaci bangsa ini, menyudutkan bangsa ini sambil memuji-muji bangsa lain. Dikotorinya pula bangsa ini dengan darah pemerkosaan terhadap hak asasi manusia. Bahkan ditebasnya keramahan bangsa ini dengan pedang kecongkakan atas nama keimanan. Kita begitu rajin melempari wajah bangsa ini dengan kotoran hingga menciprati wajah kita sendiri.
            Sejak kita tidak lagi mengagumi wajah bangsa ini, sejak itulah muncul tuntutan akan perubahan. Namun sayangnya anda hanya menuntut orang lain untuk berubah. Anda sendiri enggan melakukan perubahan pada diri sendiri. Maka benturan antara realita dan harapan dalam lubuk hati menjadi konflik yang hebat, manakala air muka kini telah memancarkan sinar keserakahan, kehausan akan kekuasaan, kesombongan akan kelebihan-kelebihan yang dimiliki, dan keburukan-keburukan lainnya. Secara meyakinkan kesemuanya itu tidak mampu mewujudkan rasa kebersamaan, rasa senasib dan sepenanggungan.
          Seorang Mahatma Gandhi ketika menggagas semangat swadesi pada masa perjuangan meraih kemerdekaan India dari kolonial Inggris, oleh rakyat India disambutnya dengan penuh kekaguman dan rasa hormat, manakala perjuangan  kemerdekaan tidak lagi hanya dapat mengandalkan pada perlawanan fisik belaka.
          Pada awalnya, semangat swadesi (menyandarkan kebutuhan pada kemampuan sendiri) ditunjukkan dengan keengganan Mahatma Gandhi menggunakan pakaian lengkap yang nota bene pada waktu itu merupakan hasil industri buatan bangsa asing (Inggris). Gandhi hanya mau mengenakan kain hasil tenunan isterinya. Kekerasan hatinya terhadap prinsipnya ini menunjukkan kegigihannya dalam diplomasi perjuangan menghadapi penjajah. Gandhi menjadi seorang yang disegani oleh pemerintah kolonial Inggris, bahkan oleh lawan politiknya di dalam negeri. Gandhi tidak cuma berpikir, tetapi ia juga bertindak, hingga dicontoh rakyatnya.
          Semangat Swadesi pada akhirnya telah berhasil mengajarkan kepada rakyat India untuk lebih mencintai produk-produk dalam negeri. Terkesan seperti anti menggunakan produk luar negeri. Oh tidak ! Itu sekedar  ekspresi kebersamaan ketika ancaman melanda bangsa India. 

Sekarang giliran bangsa ini menggugat kita.
          Presiden Soekarno rupanya terilhami oleh semangat swadesi hingga pada tahun 1959 menggagas apa yang disebut Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri). Tujuannya tidak berbeda jauh dari Swadesi, yaitu membentuk masyarakat yang lebih percaya pada kemampuan bangsa sendiri. Termasuk pula upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh ide-ide yang tersembunyi di dalam sistem hukum nasional pada waktu itu.
          Dosa terbesar negeri ini adalah ada pada kesombongan kita sendiri yang selalu membangga-banggakan kekayaan negeri ini tetapi senang berdagang eceran produk-produk luar negeri sambil tidur tanpa berbuat banyak untuk bisa mengelola sendiri Negeri ini.
          Coba saja renungkan kalimat-kalimat yang terlalu sering mendengung-dengung di telinga kita. “Negeri kita ini amat kaya”; “Orang-orang Indonesia itu sebenarnya tidak kalah pintar dibanding orang asing”; “Nenek moyang kita itu sebenarnya hebat”;  Negeri kita itu luasnya hampir sama dengan daratan Eropa”; “ Pejuang-pejuang kemerdekaan kita itu hebat, dengan bambu runcing saja mampu mengusir penjajah”; “Indonesia ini negara terbesar di Asia Tenggara”;  Indonesia adalah negara berpenduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia”; “Candi Borobudur adalah salah satu keajaiban dunia”; “Bangsa Indonesia terkenal sejak dulu dengan keramahannya”.
          Kalimat-kalimat yang berbau nostalgia dan propagandis tersebut seakan-akan diarahkan untuk dijadikan bukti bahwa kita ini sudah cukup banyak berbuat sesuatu untuk negeri ini. Inilah yang keliru !
          Mari kita renungkan hal-hal tersebut di bawah ini: 1) Apa yang sesungguhnya telah kita lakukan sebagai pembuktian bahwa negeri ini amat kaya? Bahkan kita jarang melirik produk dalam negeri; 2) Apa yang sesungguhnya telah kita buktikan bahwa orang-orang Indonesia itu tidak kalah pintar dibanding orang asing? Bahkan kita jarang menaruh kepercayaan pada tenaga ahli dalam negeri; 3) Apa yang sesungguhnya dapat kita pelajari dari kejayaan nenek moyang kita ? Bahkan kita jarang mengagumi kebudayaan lokal selain terbang ke mancanegara; 4) Apa yang sesungguhnya telah kita lakukan untuk bisa menjaga wilayah negeri ini tetap luas dan bersatu? Bahkan kita sering tidak sungguh-sungguh menyudahi penjualan pasir ke luar negeri; 5) Apa yang sesungguhnya dapat kita maknai dari besarnya jumlah umat Islam di Indonesia? Bahkan kita sering nampak sombong sebagai kekuatan yang kontra produktif; 6) Apa yang dapat ditunjukkan sekarang ini sebagai kebenaran bahwa bangsa Indonesia sejak dulu terkenal dengan keramahannya? Bahkan kita sering menjadi bagian dari aksi anarkis terhadap sesama anak bangsa; 7) Apa yang sesungguhnya bisa kita tunjukkan bahwa kita peduli pada kebangkitan ekonomi bangsa?. Bahklan kita sering membelanjakan uang kita untuk produk-produk luar negeri yang tidak begitu penting.
          Tergantung niat anda. Saya hanya seorang provokator yang tidak mau lagi nonton film import di gedung bioskop sejak tahun 1998. (Medy P. Sargo)

Tidak ada komentar: