Akhir 1998, dengan bekal ilmu yang diperoleh dari Battelle Memorial Institute (BMI) Amerika dan dari Japan Institute of Invention and Innovation (JIII) Jepang, saya mendesain suatu model organisasi pengelolaan hak kekayaan intelektual untuk dapat diterapkan di BPPT. Atas support Kepala Bagian Hukum BPPT (Giartono, SH) serta antusiasme Drs. Y. Subagyo, MA (Pembantu Asmen-Kemenristek) yang memfasilitasi, saya memperkenalkan model organisasi pengelolaan HKI itu kepada Prof. Sulaeman Kamil, salah satu Asmen di Kemenristek pada waktu itu. Kemudian atas permintaan beliau saya presentasikan pula di hadapan para asisten Menristek di era kepemimpinan Prof Zuhal (alm).
Setelah ada
beberapa masukan, model itu diadopsi Kemenristek dan diterapkan di ITB (1999)
dengan nama IPMO ITB. Nama yang persis digunakan di BMI. Oleh Prof. Sulaeman
Kamil kemudian diperkenalkan juga ke beberapa perguruan tinggi lain melalui program
insentif pembentukan sentra HKI. Menurut saya Prof. Sulaeman Kamil dalam
kapasitasnya yang strategis di Kemenristek memiliki jasa yang berarti dalam
menyebarluaskan sentra HKI. Walhasil banyak berdatangan rekan ke tempat saya
dari LAPAN, IPB, KIMPRASWIL (KemenPU) dan lain-lain, untuk berdiskusi dan
melakukan studi banding seputar sistem pengelolaan HKI di BPPT. Tak kurang
hampir tiap bulan saya mendapat undangan untuk mempresentasikan model
pengelolaan HKI di beberapa tempat. Itu karena rekomendasi Direktur Paten
(Emmawati Junus, SH) dan Drs. Y. Subagyo, MA.
Harus diakui
bahwa semenjak sentra-sentra HKI dibentuk melalui dukungan program insentif
Kemenristek maka jumlah aplikasi paten mulai meningkat, dan data HKI pun
terungkap di beberapa lembaga yang memiliki sentra HKI. Namun sayang, terdapat sedikit perbedaan pandangan antara Ditjen HKI dan Kemenristek dalam pendekatan sosialisasi HKI ke publik. Sejujurnya ini agak mengganggu koordinasi di antara kedua pihak. Padahal kita sedang dihadapkan pada pembangunan sistem HKI yang diharapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi pertumbuhan HKI itu sendiri.
Sengaja saya
unggah kisah ini agar tidak ada yang memutar balik sejarah. Orang-orang yang
bisa menjadi saksi sejarah Alhamdulillah hari ini masih sehat wal afiat.
Misalnya. Drs. Y. Subagyo, MA (BPPT), Giartono, SH (pensiunan BPPT), Dr.
Hidary Amru (pensiunan LIPI), Emmawati Junus, SH (pensiunan Ditjen HKI), Sri
Purwaningsih, SH (pensiunan BPPT).
Sampai akhir
2014, dalam catatan saya jumlah sentra HKI di Indonesia terdapat 113 buah
(termasuk yang mati suri). Insentif pembentukan sentra HKI telah diluncurkan
Kemenristek sejak tahun 2000. Tetapi tahun 2005 tidak terdengar lagi. Lalu
dihidupkan kembali pada tahun 2010 oleh DR. Idwan Suhardi (Deputi di
Kemenristek) dan dilaksanakan oleh DR. Sabartua Tampubolon (sekarang Direktur
Harmonisasi Regulasi dan Standarisasi pada Badan Ekonomi Kreatif).
Kiprah saya
selanjutnya sejak tahun 2011 dengan dikawal Prof. Dr. Didik Notosudjono (Asdep
Kekayaan Intelektual - Kemenristek) adalah menggagas dan mengawal proses
perumusan kebijakan nasional di bidang sistem imbalan (royalti) paten bagi
inventor berstatus PNS. Pada waktu itu saya menjabat Kepala Bidang Perguruan
Tinggi dan Lembaga Litbang di bawah asdep Kekayaan Intelektual – Kemenristek.
Alhamdulillah berhasil menggoalkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
72/PMK.02/2015 tentang Imbalan Yang Diperoleh Dari PNBP Royalti Paten Kepada
Inventor. Walaupun PMK tersebut masih banyak dijumpai kelemahan. Namun paling
tidak bisa digunakan sebagai acuan untuk menyisihkan PNBP dari Kas Negara untuk
imbalan bagi inventor berstatus PNS.
Berikutnya
saya menggagas dan mendesain standarisasi kelembagaan sentra HKI agar sesuai dengan
perkembangan jaman. Disusul pengembangan strategi kemitraan riset yang
berorientasi pada peroleh paten. Tentu saja diperkuat masukan dari teman-teman yang
berkiprah di perguruan tinggi dan lembaga litbang. Namun keduanya masih
berproses dan belum berhasil mendorong diterbitkannya Peraturan Menteri.
Setidaknya DR. Sadjuga (Direktur Pengelolaan Kekayaan
Intelektual-Kemenristekdikti) masih bersemangat mengawal.
Ironisnya,
unit pengelolaan HKI BPPT sendiri sudah hampir 8 tahun tak nampak
perkembangannya. Seperti tak tahu arahnya mau kemana. Masih terlena dengan
jumlah permohonan paten, tetapi tak punya energi meningkatkan jumlah paten yang
bernilai ekonomi tinggi dan komersial. Saya ingin mengubahnya, tetapi biasanya
saya tidak pernah berada lama di suatu tempat setelah saya mendesain suatu
sistem ataupun prosedur. Seperti yang sudah-sudah ketika mendesain prosedur
penyiapan draf perjanjian di BPPT (2005), serta tata kelola organisasi di Pusat
Pelayanan Teknologi (BE) BPPT (2007). Tak lama setelah itu biasanya terjungkal
keluar. Tak ubahnya seperti Kopasus, hanya sebagai juru masak saja. Tak apa
kalaupun itu terjadi. Tetapi jangan sampai ada yang memutar balik sejarah. Itu
yang terpenting. Orang boleh tak ingat, tetapi saya ingat orang-orang yang tak
mengingat. Meski terkadang moral saya terusik jika muncul orang-orang yang tak
memiliki kejujuran moralitas.
Mengapa saya
ungkap masalah ini sekarang, adalah supaya dapat dicek kembali ke berbagai
pihak yang masih hidup. Artinya memungkinkan orang lain memberi koreksi sambil
disaksikan oleh pelaku-pelaku yang masih hidup. Sebab akan lain jadinya jika
saya ungkap setelah kehilangan saksi sejarah. Mohon maaf bagi yang tak
berkenan. (Medy P Sargo, Tangerang, 10 Oktober 2015).