08 September, 2013

Renungan Untuk Calon Pemimpin Bangsa

BARACK OBAMA VS HARAPAN BANGSA PEMALAS
(Edisi Jelang Pilpres 2014)

Hanya kata “memalukan!” yang paling tepat dicirikan pada sebagian bangsa kita (termasuk di dalamnya para pengamat/tokoh politik dan ekonomi), yang menempatkan harapan terlalu tinggi pada Barack Obama sebagai Presiden terpilih Amerika Serikat.

Bagaimana tidak, mereka para pengamat/tokoh politik khususnya, menanggapi kemenangan Barack Obama sebagai keberuntungan bagi Indonesia. Mengingat kata mereka, Barry (panggilan kecil Barack Obama) adalah orang yang pernah tinggal di Indonesia pada masa kecilnya (sebenarnya tidak sampai lebih dari 3 tahun). Bahkan disinyalir pernah menganut agama Islam (agama yang dianut ayahnya berkewarganegaraan Kenya) dan diduga pernah berkewarganegaraan Indonesia sebelum akhirnya pindah dan menetap di Amerika Serikat.

Banyak di antara kita yang meramalkan (sebenarnya mengharapkan) bahwa Obama akan memperlakukan Indonesia lebih baik dari pada presiden sebelumnya, hanya karena Obama diperkirakan masih memiliki ikatan emosional dengan rakyat Indonesia. Benarkah demikian? Terlebih lagi karena Obama memiliki adik perempuan, Maya Soetoro, yang ber-ayah-kan orang Jawa.

Mungkin sebaiknya kita perlu minta pendapat Maya Soetoro, yang kini berkewarganegaraan Amerika, apakah dia sebagai anak orang Jawa memiliki kecintaan pada Indonesia? Tentu saja bukan bermaksud meragukan. Tetapi sebagai orang berkewarganegaraan Amerika wajar tentunya bila dia lebih membela kepentingan negaranya. Apalagi bagi Obama, yang hanya memiliki setetes “masa” saja menetap di Indonesia. Sementara seorang pelaku bom Bali yang note bene orang Indonesia tulen pun justru tidak memiliki beban menghianati bangsanya. Bagi Obama tentu tidaklah menjadi beban untuk tidak memikirkan Indonesia, kecuali Indonesia akan memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dari apa yang akan Amerika berikan kepada Indonesia.

Obama yang pernah bersekolah (SD) di daerah Menteng, diangan-angankan sebagian rakyat Indonesia untuk sedikit saja “berpihak” pada Indonesia. Sesungguhnya sah-sah saja orang memiliki angan-angan demikian. Tetapi penting bagi bangsa ini untuk berpandangan realistis. Jangan terbius oleh hal-hal yang musykil. Sebab itu akan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang pantas dipermalukan oleh diri sendiri.

Munculnya pandangan tentang “keberpihakan” Obama kepada Indonesia sesungguhnya hanya sekedar menunjukkan bahwa bangsa ini lebih mengedepankan pertimbangan-pertimbangan emosional yang sangat lemah. Barangkali pandangan tersebut boleh diakui sebagai penandaan terhadap bangsa yang lebih akrab dengan budaya KKN dan “Kemalasan”.

Bangsa yang akrab dengan KKN dan kemalasan adalah bangsa yang selalu berharap mendapat sesuatu dari perhatian orang lain tanpa ia merasa harus berusaha dengan keras. Bahayanya kalau hal itu terlalu diyakini, maka ia akan berpengaruh pada ketahanan bangsa. Bangsa ini menjadi lengah, karena merasa tidak memiliki ancaman dari luar.

Sepanjang perjalanan sejarah bangsa kita, belum pernah diuntungkan oleh kebijakan luar negeri negara-negara maju. Ini jika kita mau benar-benar main itung-itungan. Pandangan ini tidak ada hubungannya dengan benci atau tidaknya pada bangsa lain. Karena kita selalu harus menyadari tidak ada pengorbanan bangsa lain untuk lebih memajukan bangsa kita dari pada negaranya sendiri.

Mari kita simak pidato berulang-ulang Barack Obama sejak tahun 2004. Dia mengatakan bahwa tidak ada “Arab-Amerika”, tidak ada “Latin-Amerika”, yang ada adalah United State of America. Artinya Obama tidak akan melihat perbedaan dan membeda-bedakan. Dia hanya melihat bahwa yang ada adalah Amerika Serikat. Seorang Obama lebih melihat Amerika sebagai suatu negara yang utuh teritegrasi. Pernyataan tersebut bukan sekedar menegaskan bahwa Obama menentang perbedaan, tetapi juga dia lebih mengedepankan kepentingan Amerika Serikat di atas segala-galanya.

Dalam dunia politik bila ingin melindungi kepentingan negaranya maka tentu saja bila perlu menyingkirkan kepentingan negara lain dengan berbagai pendekatan. Pendekatan yang halus ataupun kasar hanyalah sebuah cara. Dan bagi negara mana pun di dunia, pastilah tidak menghendaki kepentingannya dihancurkan. Jika ada sebuah negara yang tidak menyadari bahwa kepentingannya sedang dihancurkan negara lain, itu hanya dikarenakan terlalu menyandarkan harapan pada belas kasih negara lain. Jika demikian adanya, maka benarlah bangsa ini adalah bangsa pemalas.

Bagi bangsa pemalas, barangkali tidak akan protes ketika "kakinya" diamputasi oleh ”kebaikan” negara lain yang hanya menggantinya dengan sepiring nasi untuk makan sehari. Dan jika calon pemimpin kita yang akan bertarung di Pemilu tahun 2014 masih berfikir demikian, sebaiknya tidak memberanikan diri ikut dalam bursa pencalonan pemimpin negara. Negara ini memerlukan pemimpin yang merdeka, cerdas, tegas, pantang menyerah, dan punya harga diri.