20 Mei, 2010

KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dimotori Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1946 menjamin pemenuhan hak-hak fundamental bagi masyarakat dunia, diantaranya hak atas informasi (rights to know). Hak atas informasi ini kemudian dinyatakan kembali dalam kesepakatan internasional (kovenan internasional) tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966, yang kemudian disebut sebagai Kovenan Sipol, dimana Indonesia sudah meratifikasinya melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Pada pasal 19 Kovenan Sipol menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya sesuai dengan pilihannya’.
Kebebasan dalam konteks ini dapat diartikan sebagai posisi sikap pandangan individu yang tidak bisa diintervensi atau dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar individu yang bersangkutan. Tentu saja sekalipun kekuatan itu datang dari penguasa (pemerintah), pada dasarnya tidak boleh membatasi kebebasan warga negaranya atas hak ini. Oleh karenanya dinyatakan sebagai hak fundamental.

Sementara Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang efektif berlaku pada 1 Mei 2010 nampaknya lebih menekankan jaminan negara pada hak publik untuk memperoleh informasi yang bersumber dari lembaga publik.
Alasan paling mendasar kenapa lembaga publik wajib membuka informasi kepada publik, paling tidak dikarenakan masyarakat adalah yang membiayai dan sekaligus dalam kedudukan sebagai pemilik kedaulatan atas lembaga publik.


Tidak Mencederai Kepentingan Negara.

Kendati demikian kekuasaan publik terhadap informasi sesungguhnya tidak boleh mencederai kepentingan negara, apalagi berpotensi mengancam keselamatan negara. Terlebih lagi dalam keadaan darurat. Karena itu negara dapat menerapkan pembatasan-pembatasan yang diatur menurut hukum. Namun hanya pada batas kebutuhan situasi tertentu dan hanya ketika hal tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional. Misalnya, pembatasan yang didasarkan pada diskriminasi dalam bentuk apapun tentu saja tidak diperbolehkan.

Dengan demikian maka hak untuk memperoleh informasi bukan lagi monopoli warga negara Indonesia tetapi menjadi hak semua orang. Namun bila kita mencermati UU No 14 Tahun 2010 terdapat perbedaan antara orang yang berhak menggunakan informasi dengan orang yang berhak mengajukan permohonan informasi. Pengguna informasi adalah orang. Artinya tidak ada pembatasan kewarganegaraan. Sebab tidak ada penjelasan yang meyakinkan tentang definisi orang yang dimaksud dalam undang-undang ini. Tetapi Pemohon Informasi nampaknya harus berkewarganegaraan Indonesia, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 angka 12.

Pengaturan demikian mungkin akan menimbulkan persoalan tersendiri, terutama menyangkut informasi yang pada akhirnya mudah keluar dari Negara ini melalui saluran tidak resmi, yang dialihkan oleh tangan-tangan warga Negara Indonesia sendiri secara mudah kepada warga Negara asing atau badan hukum asing dengan cara-cara tertentu, khusunya menyangkut informasi yang menurut sifatnya patut dirahasiakan atau dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak kekayaan intelektual.

Pertanyaan yang menarik adalah sejauh manakah masyarakat membutuhkan sistem keterbukaan informasi ini, seperti halnya menyikapi demokratisasi. Sejauh manakah sebenarnya masyarakat membutuhkan sistem demokrasi dalam kehidupan politiknya. Sesungguhnya antara keterbukaan informasi dan demokratisasi merupakan dua sisi mata uang. Sementara proses demokratisasi itu sendiri di negeri ini masih membutuhkan perjalanan panjang. Demikian pula halnya penerapan sistem keterbukaan informasi tidak boleh mendahului perubahan tatanan dalam masyarakat yang sesungguhnya membutuhkan proses secara natural.

Sebagian orang mungkin akan menganggap pandangan ini sebagai upaya kristalisasi dari pandangan sempit suatu faham kebangsaan. Padahal tidak demikian sesungguhnya. Pertanyaannya adalah apakah bangsa ini tidak boleh membangun strategi yang menguntungkan masa depannya. Padahal sistem keterbukaan informasi jika tidak dilandasi faham demokrasi yang utuh mustahil bisa terbangun secara kondusif. Dan mustahil pula penerapan suatu sistem tertentu dalam kehidupan masyarakat adalah bertujuan untuk menghancurkan tatanan yang telah hidup dalam masyarakat itu sendiri.

Sementara sepanjang sejarah peradaban manusia informasi merupakan aspek penting dalam pembangunan peradaban manusia itu sendiri. Indonesia adalah negara pertama di Asia Tenggara yang mendeklarasikan kepatuhan pada Kovenan Sipol hingga memastikannya melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.


Kesiapan Belum Memadai

Benarkah kita sudah siap? Konon kabarnya keterbukaan informasi publik, yang nota bene embrionya berasal dari luar, jika tidak dikawal secara kuat, ia akan menjadi bumerang bagi bangsa ini. Padahal negara-negara di Asia Tenggara lainnya belum juga mendeklarasikan kesiapan pada sistem keterbukaan informasi. Indonesia memang selalu berusaha menjadi ”the nice boy”. Selalu patuh pada kemauan internasional. Sementara beberapa negara lain masih menjadi ”anak nakal” yang smart. Bahkan Amerika Serikat sebagai pionir demokrasi dalam prakteknya tidak mengumbar informasi ke publik secara buka-bukaan. Menurut informasi hanya 80% yang dibuka ke publik, selebihnya ditutup untuk kepentingan supremasi Amerika di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kendati pun UU KIP mengatur tentang pengelompokan informasi yang dapat dibuka kepada publik dan pengecualiannya, namun sejak disyahkannya undang-undang ini dua tahun silam hingga pemberlakuannya pada 1 Mei 2010, tidak nampak adanya upaya memadai terhadap pengelolaan sistem dokumentasi secara baik di lingkungan lembaga publik, terutama di lembaga-lembaga penelitian.

Sebetulnya waktu dua tahun lebih dari cukup bagi suatu lembaga publik untuk merancang dan membenahi sistem pendokumentasian yang dapat menunjang pengelompokan informasi sebagaimana diatur undang-undang. Pengelompokan tersebut meliputi a) Informasi yang wajib diumumkan secara berkala; b) Informasi yang wajib diumumkan secara serta merta; dan c) Informasi yang wajib tersedia setiap saat.

Dikecualikan dari pengelompokan itu adalah pengungkapan informasi yang dianggap dapat menghambat proses penegakan hukum; mengganggu kepentingan perlindungan hak kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat; membahayakan pertahanan negara dan keamanan negara; mengungkapkan kekayaan alam indonesia; merugikan ketahanan ekonomi nasional; merugikan kepentingan hubungan luar negeri; mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang; mengungkap rahasia pribadi, memorandum atau surat-surat antar badan publik atau intra badan publik yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau Pengadilan; dan informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan undang-undang.

Konsekuensi dari suatu lembaga publik adalah menerima klaim publik terhadap segala informasi yang ada pada lembaga ini dan bisa diakses secara mudah. Mudah dalam arti tidak banyak persyaratan yang dibebankan kepada masyarakat untuk memperoleh informasi tersebut. (Medy P Sargo)